Sore ini seperti biasa
seorang gadis bernama Bulan duduk termenung sendiri di kursi taman. Tangannya
lincah memainkan harmonica yang dibawanya. Ia selalu memainkan lagu- lagu sendu.
Mengesankan sekali melihatnya bermain harmonica.
Sebenarnya ia seorang
gadis yang cantik, dengan tinggi yang semampai, rambut yang hitam alami dan
kulitnya yang putih langsat, juga hidungnya yang mancung. Tapi sayang, di balik
semua kecantikan yang dimiliki nya, ia adalah seorang gadis penderita
tunanetra. Kecelakaan pesawat yang membuatnya kehilangan penglihatannya,
beruntung ia selamat, karna hanya beberapa yang selamat dari kecelakaan itu.
Bahkan orang tuanya juga salah satu korban kecelakaan.
Setiap sore ia selalu
duduk di kursi taman yang menghadap barat, arah matahari akan menuju peraduan
nya. Walaupun ia tidak bisa melihat pemandangan hebat itu secara langsung, tapi
ia bisa merasakan cahaya kehangatan meganya.
Duduk termenung sendiri
meratapi nasibnya.
Sejenak Bulan
menghentikan permainan harmonica nya. Aneh, dia merasa ada seseorang yang duduk
di sebelahnya. Sudah 2 bulan lebih ia melakukan ritual seperti ini dan biasanya
tak ada seorang pun yang berniat menemaninya. Ya sudahlah, mungkin ia hanya
ingin duduk sejenak dan hanya untuk hari ini saja.
Bulan pun kembali
melanjutkan permainan harmonicanya.
***
Tapi Bulan salah,
ternyata 3 minggu kemudian seseorang itu masih disana, seseorang itu masih
setia menemani Bulan di tempat kesayangannya. Bahkan pernah suatu hari ia sudah
tiba lebih dulu dibanding Bulan dan ia mempersilahkan Bulan untuk duduk di
sampingnya.
“Silahkan duduk nona
cantik.” Suara nya terdengar berat,
berarti ia seorang lelaki. Batin Bulan, tapi seketika ia mendengus. Dulu
ribuan lelaki memujinya cantik, tapi sekarang begitu mereka tahu bahwa Bulan
adalah seorang gadis tunanetra tak ada lagi seorang pun yang memujinya seperti
itu. Mungkin seseorang di sebelahnya belum tahu bahwa ia seorang gadis
tunanetra, dan Bulan yakin sebentar lagi ia pasti tahu.
***
Ternyata 2 minggu setelah
kejadian itu ia masih saja duduk di bangku sebelahnya. Bulan tahu bahwa dia
adalah orang yang sama dari wangi parfumnya. Entah apa yang dilakukannya, Bulan
tak bisa melihatnya. Tapi ia tahu bahwa seseorang itu selalu berada di sisinya
setiap senja di tempat kesayangannya.
Tak pernah ada percakapan
yang terjadi di antara mereka berdua, hanya kesunyian yang mengisi. Tapi lambat
laun, Bulan mulai merasa ada sesuatu yang berbeda darinya, entah apa. Dan tanpa
Bulan sadari, ia mulai menunggu kehadirannya.
***
Hari ini pun Bulan
kembali duduk di bangku taman kesayangannya. Tak lupa membawa serta
harmonicanya.
Tapi seseorang yang
ditunggunya tak kunjung datang. Akhirnya waktu Bulan untuk pulang tiba dan ia
tak kunjung datang.
Huft, Bulan, mengapa kau bodoh sekali? Mengapa kau
menunggunya? Untuk apa? Lagipula kau tidak pernah mengenalnya walaupun sudah
hampir sebulan ia selalu duduk di kursi sebelahmu. Kau bahkan tidak tahu
rupanya seperti apa bukan?
Lagipula, ini kan kursi milik umum, siapa saja boleh untuk
duduk disini. Mungkin ia sudah tidak membutuhkan kursi ini lagi, bahkan mungkin
ia tidak akan pernah kembali lagi. Jadi, mulai sekarang kau harus berhenti
memikirkannya.
***
3 hari kemudian...
Bulan sama sekali tak menyangka
bahwa seseorang itu akan kembali duduk di sampingnya.
“Dari kemarin aku
perhatiin ternyata kamu jago juga ya main harmonica! Mau nggak kamu ngajarin
aku?” Bahkan dia yang pertama kali mengajak berbicara.
“Nggak, aku nggak
jago-jago banget kok.”
“Oh iya kenalin, namaku
Reyhan, kamu?.” Reyhan mengulurkan tangannya. Oh, jadi namanya Reyhan. Bulan pun menjulurkan tangannya. Tapi
karna ia tak bisa melihat, jadi ia menjulurkan tangannya ke arah lain.
Reyhan menyambut uluran
tangan Bulan. “Namaku Bulan.”
“Bulan?”
“Iya, emang kenapa? Ada
yang salah?”
“Nggak kok, nama kamu
cantik, secantik orangnya. oh iya kamu jadi kan mau ngajarin aku main
harmonica?”
“Boleh.” Bulan tersenyum
indah sekali.
***
“Maaf ya aku telat.”
“Nggak pa-pa, lagian kita
juga nggak janjian kan?”
Reyhan tersenyum. “Oh iya
aku punya sesuatu buat kamu?”
“Apa?”
“Nih, ice cream rasa
vanilla.” Reyhan memberi ice cream itu ke tangan Bulan.
“Makasih.”
“Bulan, aku boleh nanya
sesuatu nggak sama kamu?”
“Nanya apa?”
“Kamu kenapa sih suka banget
duduk disini?”
Bulan terdiam cukup lama.
Reyhan merasa sedikit bersalah. “Aku salah ngomong ya Lan?”
“Aku juga nggak tau, yang
jelas, aku ngerasa nyaman di tempat ini. Kamu sendiri ngapain sering kesini?”
Bukannya menjawab Reyhan
malah tertawa. “Ternyata diem-diem kamu merhatiin aku ya?”
Bulan tersenyum
malu-malu. “Apaan sih, jangan kegeeran deh.”
Akhirnya percakapan pun
mengalir di antara mereka.
***
Tak terasa sudah 2 bulan
lebih mereka saling berbagi satu sama lain, saling menunggu apabila yang satunya
belum datang. Bahkan tak jarang mereka bergantian membawa bekal untuk dibagi ke
yang tidak mendapat giliran. Bulan tak bisa menepati janjji nya untuk melupakan
Reyhan. perasaan itu tumbuh begitu saja dengan sendirinya.
“Ehm,” Reyhan berdeham
pelan. Bulan terlonjak kaget, malu pada dirinya sendiri karna barusan ia
memikirkan Reyhan.
“Kamu kenapa sih? Kaget
banget kayaknya?” tanya Reyhan.
Bulan tersenyum gugup.
“Enggak kok, biasa aja.”
“Bohong, tuh buktinya
muka kamu udah kayak kepiting rebus saking merahnya.” Reyhan masih menggoda
Bulan.
“Apaan sih? Jangan
kepedean deh jadi orang.”
Reyhan tertawa, Bulan
ikut tertawa mendengarnya.
Tiba-tiba Reyhan terdiam
cukup lama.
“Rey? Kamu masih disitu
kan?” tanya Bulan khawatir.
Reyhan tersenyum. “Aku
masih disini Bulan, aku nggak bakal pergi ninggalin kamu gitu aja.”
Bulan merasa ada sesuatu
yang berbeda dari nada suara Reyhan.
“Maksud kamu?” suara
Bulan tersangkut di tenggorokan, takut bahwa apa yang dikatakan Reyhan hanya
main-main
“Bulan, aku baru sadar kalo
aku suka sama kamu. Kamu mau nggak jadi pacar aku?”
Bulan terdiam, tapi
tiba-tiba ia mengambil tongkatnya dan bangkit berdiri meninggalkan Reyhan.
Reyhan berlari mengejarnya. “Bulan, tunggu.” Reyhan menarik lengan Bulan.
“Aku salah ngomong ya?”
Bulan tak bergeming
sedikit pun. Tiba-tiba ia terisak pelan.
“Maaf kalo aku udah
nyakitin kamu, tapi aku Cuma mau jujur sama kamu tentang perasaan aku.”
Bulan masih terisak
pelan, kemudian ia sudah melangkah pergi meninggalkan Reyhan.
***
Sudah seminggu ini Bulan
tak mengujungi taman seperti biasanya. Ia tak mau bertemu Reyhan, ia takut jika
ia harus bertemu dengan lelaki itu. Satu hal yang ia takutkan, Reyhan hanya
memberinya harapan palsu.
Bulan sudah terlalu
sering disakiti oleh lelaki. Banyak lelaki yang hanya melihat kecantikannya
saja, tapi begitu mereka tahu bahwa ia buta. Mereka pergi meninggalkannya
begitu saja. Ia heran, apa orang buta seburuk itu di mata mereka? Bukankah
banyak orang buta yang bisa menorehkan prestasi? Ya, walaupun ia tak menolehkan
prestasi apa-apa tapi ia yakin bahwa ia bukan pembawa sial yang menularkan
firus. Jadi mereka tak perlu takut untuk berdekatan dengannya.
Bahkan, mantan pacarnya
sendiri tega meninggalkannya begitu tahu bahwa ia buta. Ia tak mengerti apa
yang ada di pikiran Bima-mantan kekasihnya-. Padahal saat itu ia benar-benar
butuh dukungan seseorang, tapi ya sudahlah. Semuanya sudah berlalu.
Dan sekarang Bulan tak
ingin tertipu untuk yang kesekian kalinya.
***
Tapi Bulan sudah
memutuskan ia akan menanggung semua resikonya. Akhirnya setelah menguatkan
hatinya ia akan kembali ke taman itu. Ia yakin Reyhan pasti masih menunggunya.
Ternyata benar, ia
merasakan ada seseorang yang sedang duduk di kursi taman. Dan Bulan yakin bahwa
ia adalah Reyhan.
“Bulan, akhirnya kamu kembali.
Aku tau kalo kamu pasti kembali.” Ternyata Reyhan memang masih menunggunya.
Reyhan menuntun Bulan untuk duduk.
“Kamu apa kabar Lan?”
“Baik, kamu sendiri?”
“Merasa lebih baik
setelah ketemu kamu lagi.” Ujar Bulan mantap.
Reyhan terperangah
mendengarnya. “Apa? Kamu bilang apa tadi?”
“Merasa lebih baik
setelah ketemu kamu lagi.” Ulang Bulan sekali lagi tanpa ragu.
Tanpa ba-bi-bu Reyhan
langsung merengkuh Bulan kepelukannya. “Makasih kamu udah ngasih kepercayaan
buat aku. Aku janji nggak bakal ngehianatin kepercayaan yang udah kamu kasih.”
Bulan meraba wajah
Reyhan, mencoba membaca guratan-guratan di wajahnya. Reyhan mengambil tangan
Bulan kemudian dikecupnya tangan itu.
Bulan tersenyum. Ia bisa
mendengar keseriusan dari suara Reyhan. Harusnya dari awal ia percaya padanya.
***
Tapi Bulan keliru.
Walaupun mereka hanya
bertemu di taman tapi hubungan mereka berkembang dengan baik. Tak ada yang
berubah dengan jadwal rutin mereka. Setiap senja selalu bertemu di taman, menikmati
senja bersama-sama.
Tepat 1 bulan setelahnya 3
hari berturut-turut Reyhan tidak datang, Bulan khawatir kalau Reyhan memang
hanya ingin menipunya dengan janji cinta yang diberikannya. Tapi Bulan
buru-buru mengusir pikiran jahat yang ada di benaknya.
***
Hingga hari ke-4 akhirnya kabar baik itu
datang. Bukan, bukan kedatangan Reyhan yang menjadi kabar baiknya, tapi
akhirnya ada seorang pendonor yang ingin memberikan matanya untuk Bulan.
Bulan sangat bahagia
mendengarnya. Ingin rasanya segera menceritakan hal ini pada Reyhan. Tapi
sayang, hingga sehari sebelum operasi dilakukan Reyhan tak kunjung datang.
Bulan melangkah gontai meninggalkan taman.
***
Bulan benar-benar
bahagia. Akhirnya dia bisa melihat lagi setelah 2 tahun ia menderita sebagai
tunanetra. Dengan langkah yang pasti ia melangkahkan kaki menuju taman. Ia
merasa tatapan heran dari para pengunjung taman sedang menghujaninya. Ia yakin
mereka heran karna kini ia bukan lagi seorang gadis buta. Akhirnya dia kembali
menjadi normal seperti yang lainnya.
Kali ini Bulan tidak lagi
memainkan lagu-lagu sendu dari harmonicanya. Sekarang ia lebih suka memainkan
lagu-lagu ceria.
Bulan menanti dengan hati
berdebar kedatangan Reyhan. tak sabar ingin memberi tahukan kabar baik yang di
alaminya.
Tapi hari ini Reyhan tak
juga datang. Baiklah, mungkin ia sedang sibuk. Bulan yakin esok pasti ia akan
datang seperti biasanya.
***
Tapi Bulan benar-benar keliru. Hingga dua
minggu kemudian Reyhan tak juga datang. Bahkan pernah sekali waktu Bulan
kehujanan di kursi taman karna ia menungu Reyhan. Bulan tak kunjung menyerah,
dengan keyakinan yang kuat ia yakin bahwa Reyhan akan kembali padanya. Tapi
Reyhan benar-benar tidak pernah kembali.
Mungkin memang aku yang tak tau diri. Menanti cinta seorang
pangeran impian. Hh, mana ada pangeran di jaman sekarang? Mungkin memang sudah
menjadi takdirku untuk dipermainkan oleh laki-laki. Tapi masalahnya melupakan
perasaan tak semudah membalikkan telapak tangan. Aku menyesal pernah mengenalmu
Reyhan, aku menyesal karna kau tidak ada bedanya dengan lelaki manapun.
Tapi mau bagaimana lagi? Aku mau mencarimu kemana? Jangankan
alamat rumahmu, wajahmu saja aku tidak tau seperti apa. Jadi bagaimana mungkin
aku mencari seseorang yang tidak kuketahui sedikit pun ciri-cirinya.
***
Dengan langkah ringan Reyhan berjalan menghampiri Bulan di
seberang. Tangannya memegang mawar merah yang ingin diberikannya pada Bulan.
Tapi karna tidak memperhatikan jalan tiba-tiba ada motor yang menabraknya dan
tubuhnya terpental beberapa meter.
Tubuh Reyhan sudah bersimbah darah, tangannya masih memegang
mawar yang semakin merah karna percikan darahnya. Pengendara motor yang tidak
bertanggung jawab meninggalkannya begitu saja. Para pejalan kaki di sekitar
taman pun langsung mengerumuni tubuh Reyhan yang lemah tak berdaya. Mereka
ingin segera membawa tubuh Reyhan ke rumah sakit.
Dengan sisa-sisa kesadaran yang dimilikinya tangan Reyhan
menunjuk Bulan yang sedang menunggunya di tempat biasa mereka bertemu. Lantas
berkata lirih pada seseorang di sebelahnya.
“Mas, saya boleh minta tolong sama mas? Kalau nanti nyawa
saya tidak bisa diselamatkan tolong donorkan mata saya untuk dia.” Tangannya
masih menunjuk Bulan.
“Maksud mas mba yang lagi duduk di situ?” orang disebelahnya
bertanya memastikan.
Reyhan mengangguk, anggukannya lemah sekali. Sepertinya ia
benar-benar akan pergi. “Tolong ya mas.” Dengan sisa-sisa nafasnya Reyhan mengatakannya.
Bulan, maafkan aku, aku harus pergi Bulan, maaf aku pergi
tanpa pamit. Maaf karna 3 hari yang lalu aku tidak sempat menemuimu. Ada
pekerjaan yang harus kuselesaikan. Setelah aku pergi kau akan kembali normal
dan bisa melihat lagi dengan kedua mataku. Maafkan aku, sungguh maafkan aku
Bulan. Aku mencintaimu, selamanya.
Setelah membatin seperti itu, nafas Reyhan benar-benar
berhenti. Ia sudah pergi meniggalkan cintanya. Tapi Reyhan yakin kepergiannya
tidak akan sia-sia, ia yakin pergi dengan meninggalkan kebahagiaan untuk Bulan.
Ia bahagia bisa mendonorkan matanya untuk seseorang yang dicintainya.
***
Tapi Bulan tidak pernah
tahu tentang hal ini, ia tidak akan pernah tahu.
0 komentar:
Posting Komentar