Walaupun aktivitas padat, tak boleh lelah dengan 'menulis'. Tak boleh lupa dengan 'lomba menulis'.
And, and, and, ada lomba dari Fakultas Sastra UGM, dan aku mengikutinya :)
F.Y.I *For Your Information* this is the link of that competition : cerpenbulanbahasaugm.wordpress.com
F.Y.I *For Your Information* this is the link of that competition : cerpenbulanbahasaugm.wordpress.com
Cerita yang ku buat ada unsur fiktif dan non-fiktifnya :D
Tapi lebih banyak non fiktif nya deng :D
Check it out!
Jln. Wonosari Km. 7
‘Zrrtt... Zrrtt..’
di tengah-tengah aktifitas kuliah, tiba-tiba ponsel yang berada di
saku bajuku bergetar. Menandakan adanya pesan masuk.
Sambil berusaha
tidak terlihat oleh dosen, aku membaca pesannya. Ternyata sms dari Bu
Ana, pembimbing bimbel di tempat ku bekerja paruh waktu.
From: Bu Ana
Mba
Sarah, jgn lupa nanti sore untuk mulai privat di rumah Revan, nggih,
yg rumahnya di jln wonosari km. 7. Terima kasih.
Tiba-tiba
ada perasaan chaos
yang ku rasakan begitu membaca sms ini. Beberapa hari yang lalu, aku
dan Bu Ana memang sudah melakukan survei mengunjungi rumah Revan,
calon murid privatku, siswa kelas 1 SD. Karna lokasi kediamanku yang
berada di Jln. Nitikan, kira-kira membutuhkan waktu sekitar 20-25
menit untuk sampai di sana. Belum terhitung bila jalannya macet
ditambah dengan lampu lalu lintas yang bertebaran. Entah butuh berapa
lama lagi waktu yang kubutuhkan. Namun, bukan perihal lamanya waktu
yang membuat ku resah. Tapi rute perjalanan menuju ke sanalah yang
membuat ku bimbang. Aku memang memiliki sedikit masalah dengan
ingatanku jika berbicara mengenai rute jalan. Padahal sudah genap dua
tahun aku tinggal di Jogjakarta, tapi sampai sekarang, perihal
tersasar bukan hal asing bagiku.
To: Bu Ana
Nggih, bu.
Aku menjawab
seadanya. Kembali menaruh ponsel di saku baju. Kembali untuk fokus
mendengarkan dosen.
Sudahlah, masalah
rute bisa dipikirkan nanti!
***
Sebagai seorang
mahasiswa, aku juga ingin untuk bisa bekerja, mandiri, walaupun
sebenarnya kondisi ekonomi tak mengharuskanku untuk melakukannya.
Tapi aku pun ingin menikmati bagaimana rasanya memakai uang dari
hasil keringatku sendiri. Jadilah aku memutuskan untuk bekerja.
Sebagai seorang mahasiswa Fakultas Keguruan, aku memanfaatkan ilmu
yang sudah ku dapatkan selama masa perkuliahan untuk mengajar les
privat maupun bimbel.
Ah, ku pikir wajar
bila aku bekerja paruh waktu sebagai guru les, teman-temanku juga
banyak yang melakukan hal itu. Tapi ternyata bimbel tempatku bekerja
benar-benar membuatku bekerja. Sejak bergabung dengan lembaga bimbel
tersebut. Keseharianku hanya mengenal tiga hal, kamar kos, kampus,
tempat bimbel. Berangkat pagi-pagi, pulang malam-malam. Libur setiap
akhir pekan, hari sabtu dan minggu. Aku jadi tau mengapa para pegawai
seringkali merindukan akhir pekan. Karna ingin beristirahat sejenak!
***
Pukul 14.40
aktifitas perkuliahan ku selesai, setidaknya aku masih memiliki 30
menit untuk beristirahat sebelum mengajar privat. Ku pikir, lebih
baik aku pulang ke kamar kos, mandi, sholat ashar, kemudian
berangkat.
Selesai mandi, aku
pun rebahan di atas kasur, meregangkan otot sembari menunggu adzan
ashar berkumandang. Mulai membuka satu persatu berbagai macam
notifikasi pesan yang masuk. Pesan BBM, WhatsApp, Line Messenger,
juga SMS. Kebanyakan berasal dari grup-grup rempong yang ku
ikuti. Bahkan beberapa hanya sebatas commercial break dari OS
(online shop) yang ku add di Line.
Semilir dari kipas
angin listrik meremangkan bulu mataku. Seolah menggodaku untuk segera
memejamkan mata.
***
Akhirnya adzan ashar
berkumandang dari masjid seberang. Segera ku tunaikan sholat ashar
yang berjumlah empat rakaat. Selesai sholat, aku bersiap-siap.
Setelah memastikan semuanya benar-benar siap, aku pun berangkat
menuju Jln. Wonosari Km. 7.
Bismillah... semoga
saja aku tidak harus tersasar sampai ke mana-mana untuk bisa sampai
di sana.
Sebenarnya banyak
jalan menuju Jln.Wonosari Km. 7. Dari Jln. Ring Road Selatan, dari
Pasar Kota Gede, dari XT Square, bahkan dari Gembira Loka Zoo pun
bisa. Tapi seperti yang disarankan oleh Bu Ana kemarin, lebih baik
melewati jalan Pasar Kota Gede. Walaupun jalannya kecil, terlebih
macet karna harus melewati pasar, tapi itu adalah jalan alternatif
terdekat yang bisa ku capai.
Sekarang aku sudah
berada di jalan Sorogenen, setelah melewati satu lampu lalu lintas di
depan sana, aku akan belok kiri kemudian di pertigaan belok kanan,
sampailah aku di daerah Kotagede. Beberapa puluh meter di depan, aku
akan melewati pasar Kotagede. Benar saja, belum melewati pasarnya aku
sudah terjebak macet. Mobil, motor, tukang becak, pengendara sepeda,
semuanya berlomba berdesakan agar menjadi yang terdepan. Di saat lalu
lintas padat seperti ini biasanya pengendara mobil lah yang paling
banyak dirugikan. Mereka harus ekstra hati-hati menjaga jarak, jangan
sampai menyenggol yang lainnya, terlebih jika mobil yang dikendarai
seharga ratusan juta, sebisa mungkin tidak serampangan dalam
mengendarainya. Biar lambat asal mobil selamat.
Mungkin aku terlalu
asyik melamun, hingga tidak sadar tiba-tiba sepersekian detik lagi
roda motorku bagian depan akan menyentuh betis nenek-nenek penyebrang
jalan. Ku cengkram erat-erat kedua rem motorku, berusaha menghindari
status penabrak nenek-nenek penyebrang jalan. Usahaku cukup
membuahkan hasil. Betis si nenek berhasil terselamatkan.
Namun naas, selamat
dari status penabrak nenek penyebrang jalan, sekarang seorang
pengendara motor sudah menyerudug motorku dari belakang. Dan ternyata
motornya pun juga diserudug oleh pengendara motor lain dari belakang.
Entah di detik ke berapa tiga motor sekaligus tumbang secara
bersamaan. Motorku, motor di belakangku, dan motor di belakangnya
lagi. Telah terjadi kecelakaan beruntun! Dan, sepertinya akulah
penyebab dari kecelakaan ini!
Kontan saja semua
mata tertuju pada kami. Tapi rasa empati yang mereka berikan hanya
sebatas melihat, tidak lebih. Mungkin kami hanya dianggap sebagai
tontonan yang menarik. Tidak ada satupun yang bergerak mendekat
membantu.
Untungnya,
kecelakaannya tidak parah. Paling banter hanya menyisakan luka
goresan ringan. Seorang ibu-ibu pengendara motor di belakangku
meringis pelan sembari mengangkat motornya yang terjatuh. Tapi apa
daya, karna kakinya yang lecet sehabis terjatuh, ia pun tak memiliki
kekuatan untuk mengangkat motornya.
Aku bergegas
menghampirinya, “sini bu, biar saya bantu.”
Setelah motornya
kembali dalam posisi normal, tanpa ba-bi-bu ia langsung menyalakan
mesinnya dan bersiap-siap pergi, “lain kali hati-hati mba kalau
mengendarai motor. Saya juga jadi kena imbasnya karna mba ngga
berhati-hati.”
Aku hanya meringis
sembari membungkuk meminta maaf.
Sekarang saatnya
melihat korbanku yang selanjutnya. Si pengendara motor ketiga,
seorang mba-mba yang entah berapa kisaran usianya. Entah apa yang
sedang dilakukannya, ia dalam posisi telentang sembari
menggerak-gerakkan kedua tangannya. Setelah diperhatikan dari dekat,
ternyata tidak hanya kedua tangannya saja yang bergerak-gerak, atau
lebih tepatnya bergetar, tapi seluruh badannya pun bergetar hebat.
Kontan aku berlari
menghampirinya. Ia memejamkan matanya. Ku sentuh lengannya, bermaksud
untuk membangunkannya, tapi yang terjadi malah tanganku pun ikut
bergetar setelah memegang lengannya. Kutarik tanganku, mengurungkan
niat untuk membangunkannya.
Aku baru melihatnya,
ternyata ada sedikit bercak darah di rambutnya, sepertinya berasal
dari kepalanya.
Sekarang satu dua
orang-orang mulai mengerumun mendekat. Tapi yang mereka lakukan pun
masih hanya sebatas melihat. Tidak bergegas membantu.
Belum tau harus
berbuat apa. Tiba-tiba ia mengeluarkan busa halus dari mulutnya.
Hah?! Apa yang sebenarnya terjadi?
“Mba! Bangun mba!
Mba!” Sekarang tanganku sudah menggoncang-goncangkan tubuhnya.
Mengalahkan getaran hebat dari tubuhnya.
“Mba! Koe ki
kok ngawur to? Mbok jangan kasar-kasar mbanguninnya!”
entah siapa yang bersuara, aku tak bisa melihatnya, karna kini
kerumunan di sekitarku semakin bertambah.
“Daripada ndak
bergerak ndak membantu apa-apa. Setidaknya saya berusaha
membantu.” Aku benar-benar heran, bahkan sampai sekarang pun tidak
ada yang berniat membantu kami. Ah, sepertinya bangsa ini sudah
miskin rasa empati. Semakin terkikis oleh perubahan jaman dan
kemajuan teknologi.
“Kamu mbantu
karna kamu yang nabrak dia, mba!”
Terdengar
seruan-seruan mengiyakan.
Saat aku sudah ingin
membalas ucapannya, tiba-tiba si mba-mba terbangun begitu saja.
Mengelap busa putih yang berteleran di sekitar mulutnya. Aku
buru-buru mengeluarkan tisu dari tasku, lantas menawarkannya.
“Mba ndak
apa-apa?”
Ia mengangguk, “tadi
saya tertabrak?” dia malah balik bertanya padaku. Aneh. Gantian aku
yang mengangguk.
“Kalau ‘penyakit
kaget’ saya kambuh memang seperti itu mba, reaksinya kayak orang
ayan, padahal ya saya ndak ayan-an. Saya kaget karna
kecelakaan kecil tadi, tapi sekarang sudah ndak apa-apa kok
mba.” Ia tertawa.
Aku tersenyum keki.
Baru pertama kali mendengar istilah ‘penyakit kaget’.
Ia sudah pergi
setelah seorang mas-mas membantu membetulkan posisi motornya yang
jungkir balik.
Oke! Semuanya beres!
Sekarang saatnya kembali melanjutkan perjalanan.
Aku melirik jam
stripes ungu yang berada di pergelangan tangan kiri, ternyata sudah
20 menit berlalu sejak keberangkatanku dari kamar kos! Oh, tidak! Aku
harus bergegas!
Seharusnya sekitar
100 meter lagi aku akan melewati pertigaan kantor pos. Ah, benar
saja. Ini dia pertigaannya! Baiklah, aku mengambil arah kanan.
Setelah pertigaan kantor pos ini, aku akan bertemu lampu lalu lintas.
Tidak berbelok kanan kiri. Aku terus berjalan lurus.
Setelah melewati
lampu lalu lintas, aku akan bertemu dengan pertigaan, dan aku harus
belok kiri pada pertigaan tersebut. Nah! Ini dia nih! Aku lupa di
pertigaan mana yang seharusnya aku mengambil arah kiri. Sekarang,
setidaknya sudah ada empat pertigaan yang ku lewati. Apakah
pertigaanku berada di antaranya?
Terlihat lampu lalu
lintas melambai-lambai dari kejauhan. Hei! Seharusnya aku tidak
melewati lampu lalu lintas lagi. Tanpa ba-bi-bu aku memutar balik
arah laju motorku. Membanting setir. Tapi naas, sepertinya hari ini
keberuntungan memang tidak berpihak padaku. Tubuhku sudah melayang
begitu saja, terpental beberapa meter dari motor, dan melakukan
pendaratan yang cukup menyakitkan di atas jalanan beraspal.
***
“Gubrakkk...”
Aku terjatuh dari ranjang kos. Suara adzan terdengar dari masjid
seberang, bersamaan dengan lantunan Blank Space milik Taylor Swift
dari ponselku. Ada panggilan masuk. Ternyata dari Bu Ana, masih
setengah tersadar aku mengangkatnya.
“Halo, Mba Sarah?”
“Iya Bu, halo.”
“Mba Sarah kenapa?
Kok, ndak berangkat ke rumah Revan?”
Aku melirik jam
dinding di kamarku, ternyata sudah pukul 17.45, sudah terlambat untuk
pergi mengajar privat.
“Maaf, Bu, saya
habis kecelakaan, makanya saya ndak jadi berangkat ke rumah
Revan.”
“Kecelakaan? Mba
Sarah ndak apa-apa to sekarang?”
“Iya, bu, saya
baik-baik saja.”
“Ya sudah kalau
begitu, Mba Sarah istirahat saja dulu, biar saya yang berbicara
dengan Mama Revan.”
“Iya bu, terima
kasih.” Aku sudah mematikan panggilannya.
Ada perasaan geli
sekaligus bersalah ketika mengatakan bahwa aku mengalami kecelakaan.
Tapi bagaimana lagi? Aku sungguh-sungguh mengalami kecelakaan
lalu lintas dalam perjalananku. Walaupun hanya dalam mimpi. Bahkan
sholat ashar yang ku lakukan pun hanya mimpi. Tapi, mengapa rasanya
begitu nyata? Mungkin aku terlalu mengkhawatirkan perjalanan ini,
sampai-sampai ia menjelma menjadi bunga tidur. Mungkin. Tapi,
entahlah!
***
1 komentar:
endingnya pun ternyata hanya sebuah bunga tidur. aku ikut hanyut dalam ceritamu. semangat Popo buat lombanya :)
Posting Komentar