Minggu, 18 Oktober 2015

Cerpen Bulan Bahasa UGM 2015

Diposting oleh salmasara.blogspot.com di 04.56
Walaupun aktivitas padat, tak boleh lelah dengan 'menulis'. Tak boleh lupa dengan 'lomba menulis'.
And, and, and, ada lomba dari Fakultas Sastra UGM, dan aku mengikutinya :)
F.Y.I *For Your Information* this is the link of that competition : cerpenbulanbahasaugm.wordpress.com 
Cerita yang ku buat ada unsur fiktif dan non-fiktifnya :D
Tapi lebih banyak non fiktif nya deng :D 
Check it out!


Jln. Wonosari Km. 7
Zrrtt... Zrrtt..’ di tengah-tengah aktifitas kuliah, tiba-tiba ponsel yang berada di saku bajuku bergetar. Menandakan adanya pesan masuk.
Sambil berusaha tidak terlihat oleh dosen, aku membaca pesannya. Ternyata sms dari Bu Ana, pembimbing bimbel di tempat ku bekerja paruh waktu.
From: Bu Ana
Mba Sarah, jgn lupa nanti sore untuk mulai privat di rumah Revan, nggih, yg rumahnya di jln wonosari km. 7. Terima kasih.
Tiba-tiba ada perasaan chaos yang ku rasakan begitu membaca sms ini. Beberapa hari yang lalu, aku dan Bu Ana memang sudah melakukan survei mengunjungi rumah Revan, calon murid privatku, siswa kelas 1 SD. Karna lokasi kediamanku yang berada di Jln. Nitikan, kira-kira membutuhkan waktu sekitar 20-25 menit untuk sampai di sana. Belum terhitung bila jalannya macet ditambah dengan lampu lalu lintas yang bertebaran. Entah butuh berapa lama lagi waktu yang kubutuhkan. Namun, bukan perihal lamanya waktu yang membuat ku resah. Tapi rute perjalanan menuju ke sanalah yang membuat ku bimbang. Aku memang memiliki sedikit masalah dengan ingatanku jika berbicara mengenai rute jalan. Padahal sudah genap dua tahun aku tinggal di Jogjakarta, tapi sampai sekarang, perihal tersasar bukan hal asing bagiku.
To: Bu Ana
Nggih, bu.
Aku menjawab seadanya. Kembali menaruh ponsel di saku baju. Kembali untuk fokus mendengarkan dosen.
Sudahlah, masalah rute bisa dipikirkan nanti!
***
Sebagai seorang mahasiswa, aku juga ingin untuk bisa bekerja, mandiri, walaupun sebenarnya kondisi ekonomi tak mengharuskanku untuk melakukannya. Tapi aku pun ingin menikmati bagaimana rasanya memakai uang dari hasil keringatku sendiri. Jadilah aku memutuskan untuk bekerja. Sebagai seorang mahasiswa Fakultas Keguruan, aku memanfaatkan ilmu yang sudah ku dapatkan selama masa perkuliahan untuk mengajar les privat maupun bimbel.
Ah, ku pikir wajar bila aku bekerja paruh waktu sebagai guru les, teman-temanku juga banyak yang melakukan hal itu. Tapi ternyata bimbel tempatku bekerja benar-benar membuatku bekerja. Sejak bergabung dengan lembaga bimbel tersebut. Keseharianku hanya mengenal tiga hal, kamar kos, kampus, tempat bimbel. Berangkat pagi-pagi, pulang malam-malam. Libur setiap akhir pekan, hari sabtu dan minggu. Aku jadi tau mengapa para pegawai seringkali merindukan akhir pekan. Karna ingin beristirahat sejenak!
***
Pukul 14.40 aktifitas perkuliahan ku selesai, setidaknya aku masih memiliki 30 menit untuk beristirahat sebelum mengajar privat. Ku pikir, lebih baik aku pulang ke kamar kos, mandi, sholat ashar, kemudian berangkat.
Selesai mandi, aku pun rebahan di atas kasur, meregangkan otot sembari menunggu adzan ashar berkumandang. Mulai membuka satu persatu berbagai macam notifikasi pesan yang masuk. Pesan BBM, WhatsApp, Line Messenger, juga SMS. Kebanyakan berasal dari grup-grup rempong yang ku ikuti. Bahkan beberapa hanya sebatas commercial break dari OS (online shop) yang ku add di Line.
Semilir dari kipas angin listrik meremangkan bulu mataku. Seolah menggodaku untuk segera memejamkan mata.
***
Akhirnya adzan ashar berkumandang dari masjid seberang. Segera ku tunaikan sholat ashar yang berjumlah empat rakaat. Selesai sholat, aku bersiap-siap. Setelah memastikan semuanya benar-benar siap, aku pun berangkat menuju Jln. Wonosari Km. 7.
Bismillah... semoga saja aku tidak harus tersasar sampai ke mana-mana untuk bisa sampai di sana.
Sebenarnya banyak jalan menuju Jln.Wonosari Km. 7. Dari Jln. Ring Road Selatan, dari Pasar Kota Gede, dari XT Square, bahkan dari Gembira Loka Zoo pun bisa. Tapi seperti yang disarankan oleh Bu Ana kemarin, lebih baik melewati jalan Pasar Kota Gede. Walaupun jalannya kecil, terlebih macet karna harus melewati pasar, tapi itu adalah jalan alternatif terdekat yang bisa ku capai.
Sekarang aku sudah berada di jalan Sorogenen, setelah melewati satu lampu lalu lintas di depan sana, aku akan belok kiri kemudian di pertigaan belok kanan, sampailah aku di daerah Kotagede. Beberapa puluh meter di depan, aku akan melewati pasar Kotagede. Benar saja, belum melewati pasarnya aku sudah terjebak macet. Mobil, motor, tukang becak, pengendara sepeda, semuanya berlomba berdesakan agar menjadi yang terdepan. Di saat lalu lintas padat seperti ini biasanya pengendara mobil lah yang paling banyak dirugikan. Mereka harus ekstra hati-hati menjaga jarak, jangan sampai menyenggol yang lainnya, terlebih jika mobil yang dikendarai seharga ratusan juta, sebisa mungkin tidak serampangan dalam mengendarainya. Biar lambat asal mobil selamat.
Mungkin aku terlalu asyik melamun, hingga tidak sadar tiba-tiba sepersekian detik lagi roda motorku bagian depan akan menyentuh betis nenek-nenek penyebrang jalan. Ku cengkram erat-erat kedua rem motorku, berusaha menghindari status penabrak nenek-nenek penyebrang jalan. Usahaku cukup membuahkan hasil. Betis si nenek berhasil terselamatkan.
Namun naas, selamat dari status penabrak nenek penyebrang jalan, sekarang seorang pengendara motor sudah menyerudug motorku dari belakang. Dan ternyata motornya pun juga diserudug oleh pengendara motor lain dari belakang. Entah di detik ke berapa tiga motor sekaligus tumbang secara bersamaan. Motorku, motor di belakangku, dan motor di belakangnya lagi. Telah terjadi kecelakaan beruntun! Dan, sepertinya akulah penyebab dari kecelakaan ini!
Kontan saja semua mata tertuju pada kami. Tapi rasa empati yang mereka berikan hanya sebatas melihat, tidak lebih. Mungkin kami hanya dianggap sebagai tontonan yang menarik. Tidak ada satupun yang bergerak mendekat membantu.
Untungnya, kecelakaannya tidak parah. Paling banter hanya menyisakan luka goresan ringan. Seorang ibu-ibu pengendara motor di belakangku meringis pelan sembari mengangkat motornya yang terjatuh. Tapi apa daya, karna kakinya yang lecet sehabis terjatuh, ia pun tak memiliki kekuatan untuk mengangkat motornya.
Aku bergegas menghampirinya, “sini bu, biar saya bantu.”
Setelah motornya kembali dalam posisi normal, tanpa ba-bi-bu ia langsung menyalakan mesinnya dan bersiap-siap pergi, “lain kali hati-hati mba kalau mengendarai motor. Saya juga jadi kena imbasnya karna mba ngga berhati-hati.”
Aku hanya meringis sembari membungkuk meminta maaf.
Sekarang saatnya melihat korbanku yang selanjutnya. Si pengendara motor ketiga, seorang mba-mba yang entah berapa kisaran usianya. Entah apa yang sedang dilakukannya, ia dalam posisi telentang sembari menggerak-gerakkan kedua tangannya. Setelah diperhatikan dari dekat, ternyata tidak hanya kedua tangannya saja yang bergerak-gerak, atau lebih tepatnya bergetar, tapi seluruh badannya pun bergetar hebat.
Kontan aku berlari menghampirinya. Ia memejamkan matanya. Ku sentuh lengannya, bermaksud untuk membangunkannya, tapi yang terjadi malah tanganku pun ikut bergetar setelah memegang lengannya. Kutarik tanganku, mengurungkan niat untuk membangunkannya.
Aku baru melihatnya, ternyata ada sedikit bercak darah di rambutnya, sepertinya berasal dari kepalanya.
Sekarang satu dua orang-orang mulai mengerumun mendekat. Tapi yang mereka lakukan pun masih hanya sebatas melihat. Tidak bergegas membantu.
Belum tau harus berbuat apa. Tiba-tiba ia mengeluarkan busa halus dari mulutnya. Hah?! Apa yang sebenarnya terjadi?
Mba! Bangun mba! Mba!” Sekarang tanganku sudah menggoncang-goncangkan tubuhnya. Mengalahkan getaran hebat dari tubuhnya.
Mba! Koe ki kok ngawur to? Mbok jangan kasar-kasar mbanguninnya!” entah siapa yang bersuara, aku tak bisa melihatnya, karna kini kerumunan di sekitarku semakin bertambah.
Daripada ndak bergerak ndak membantu apa-apa. Setidaknya saya berusaha membantu.” Aku benar-benar heran, bahkan sampai sekarang pun tidak ada yang berniat membantu kami. Ah, sepertinya bangsa ini sudah miskin rasa empati. Semakin terkikis oleh perubahan jaman dan kemajuan teknologi.
Kamu mbantu karna kamu yang nabrak dia, mba!”
Terdengar seruan-seruan mengiyakan.
Saat aku sudah ingin membalas ucapannya, tiba-tiba si mba-mba terbangun begitu saja. Mengelap busa putih yang berteleran di sekitar mulutnya. Aku buru-buru mengeluarkan tisu dari tasku, lantas menawarkannya.
Mba ndak apa-apa?”
Ia mengangguk, “tadi saya tertabrak?” dia malah balik bertanya padaku. Aneh. Gantian aku yang mengangguk.
Kalau ‘penyakit kaget’ saya kambuh memang seperti itu mba, reaksinya kayak orang ayan, padahal ya saya ndak ayan-an. Saya kaget karna kecelakaan kecil tadi, tapi sekarang sudah ndak apa-apa kok mba.” Ia tertawa.
Aku tersenyum keki. Baru pertama kali mendengar istilah ‘penyakit kaget’.
Ia sudah pergi setelah seorang mas-mas membantu membetulkan posisi motornya yang jungkir balik.
Oke! Semuanya beres! Sekarang saatnya kembali melanjutkan perjalanan.
Aku melirik jam stripes ungu yang berada di pergelangan tangan kiri, ternyata sudah 20 menit berlalu sejak keberangkatanku dari kamar kos! Oh, tidak! Aku harus bergegas!
Seharusnya sekitar 100 meter lagi aku akan melewati pertigaan kantor pos. Ah, benar saja. Ini dia pertigaannya! Baiklah, aku mengambil arah kanan. Setelah pertigaan kantor pos ini, aku akan bertemu lampu lalu lintas. Tidak berbelok kanan kiri. Aku terus berjalan lurus.
Setelah melewati lampu lalu lintas, aku akan bertemu dengan pertigaan, dan aku harus belok kiri pada pertigaan tersebut. Nah! Ini dia nih! Aku lupa di pertigaan mana yang seharusnya aku mengambil arah kiri. Sekarang, setidaknya sudah ada empat pertigaan yang ku lewati. Apakah pertigaanku berada di antaranya?
Terlihat lampu lalu lintas melambai-lambai dari kejauhan. Hei! Seharusnya aku tidak melewati lampu lalu lintas lagi. Tanpa ba-bi-bu aku memutar balik arah laju motorku. Membanting setir. Tapi naas, sepertinya hari ini keberuntungan memang tidak berpihak padaku. Tubuhku sudah melayang begitu saja, terpental beberapa meter dari motor, dan melakukan pendaratan yang cukup menyakitkan di atas jalanan beraspal.
***
Gubrakkk...” Aku terjatuh dari ranjang kos. Suara adzan terdengar dari masjid seberang, bersamaan dengan lantunan Blank Space milik Taylor Swift dari ponselku. Ada panggilan masuk. Ternyata dari Bu Ana, masih setengah tersadar aku mengangkatnya.
Halo, Mba Sarah?”
Iya Bu, halo.”
Mba Sarah kenapa? Kok, ndak berangkat ke rumah Revan?”
Aku melirik jam dinding di kamarku, ternyata sudah pukul 17.45, sudah terlambat untuk pergi mengajar privat.
Maaf, Bu, saya habis kecelakaan, makanya saya ndak jadi berangkat ke rumah Revan.”
Kecelakaan? Mba Sarah ndak apa-apa to sekarang?”
Iya, bu, saya baik-baik saja.”
Ya sudah kalau begitu, Mba Sarah istirahat saja dulu, biar saya yang berbicara dengan Mama Revan.”
Iya bu, terima kasih.” Aku sudah mematikan panggilannya.
Ada perasaan geli sekaligus bersalah ketika mengatakan bahwa aku mengalami kecelakaan. Tapi bagaimana lagi? Aku sungguh-sungguh mengalami kecelakaan lalu lintas dalam perjalananku. Walaupun hanya dalam mimpi. Bahkan sholat ashar yang ku lakukan pun hanya mimpi. Tapi, mengapa rasanya begitu nyata? Mungkin aku terlalu mengkhawatirkan perjalanan ini, sampai-sampai ia menjelma menjadi bunga tidur. Mungkin. Tapi, entahlah!
***

1 komentar:

Bytea mengatakan...

endingnya pun ternyata hanya sebuah bunga tidur. aku ikut hanyut dalam ceritamu. semangat Popo buat lombanya :)

Posting Komentar

 

Girl's Diary Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea