Minggu, 18 Oktober 2015

Naik Kereta Api

Diposting oleh salmasara.blogspot.com di 04.26
Ada sebuah tugas dari  mata kuliah, Dasar-Dasar Bercerita, tugasnya membuat cerpen tentang kisah masa kecil. Ceritanya bisa apa saja, bebas.
And, this is my story!

Naik Kereta Api
Oleh: Salma Sarajevo
Naik kereta api.. tut..tut..tut..
Siapa hendak turun..
Ke Bandung.. Surabaya..
Bolehlah naik dengan percuma..
Ayo kawanku lekas naik..
Keretaku tak berhenti lama...

Aku lupa, ini sudah yang keberapa kalinya aku naik kereta api. Biasanya aku naik kereta api ketika akan mengunjungi kedua kakakku yang berada di Pesantren. Karna letak Pesantrennya sangat jauh, biasanya aku dan ibu bapakku menggunakan jasa kereta api jika ingin menjenguk kakak.
Begitu pun dengan hari ini. Aku sudah duduk manis di salah satu kursi kereta api. Bersiap meluncur menuju Kota Ponorogo, Pesantren tempat kakak-kakakku berada.
Beberapa hari sebelum pergi berkunjung. Ada satu kebiasaan Ibu yang paling aku senangi. Ibu membeli banyak kue dan jajanan. Tidak pernah aku melihat Ibu belanja kue sebanyak itu. Walaupun sebenarnya kue-kue dan jajanannya diberikan kepada kakak-kakakku, tapi aku juga kebagian, kok. Meskipun hanya beberapa, hehehe
Oh iya, biasanya Ibu juga sibuk mencatat barang-barang apa yang dibutuhkan kakak-kakakku. Kedua kakakku menelpon melalui wartel, memberitahu kebutuhannya, lantas Ibu mencatat. Kemudian dibawanya ketika pergi berkunjung. Ya, biasanya barang-barang yang dibutuhkan berupa kaos kaki, alat tulis, terkadang sekali dua pakaian maupun sepatu baru.
Biasanya aku pergi dengan Ibu dan Bapak. Tapi tidak untuk kali ini, karna ada pekerjaan yang harus diselesaikan Bapak di kantor, jadi hanya aku dan Ibu yang pergi menjenguk kakak.
Ketika naik kereta api, biasanya aku paling suka berdiri di kursiku yang dekat jendela, dan menempelkan kepalaku di jendelanya. Kadang-kadang, kalau jendelanya terbuka lebih asyik lagi, wajahku akan pias karna terpaan angin malam.
Padahal berulang kali Ibu menasehatiku, bilang khawatir aku akan masuk angin. Biasanya kalau sudah seperti itu aku akan duduk, tapi beberapa menit kemudian sudah berdiri lagi . Habisnya, ada sensasi kesenangan yang kurasakan ketika wajahku terkena terpaan angin malam.
Sekarang jam berapa, bu?”
Jam 11. Kamu belum ngantuk?”
Sudah jam 11? Pantas saja dari tadi kok, rasanya ngantuk sekali.”
Ibu tertawa. “Ya sudah, sini bobo’.” Ibu menunjuk dan menyodorkan pahanya padaku, agar aku menggunakan pahanya sebagai bantal untuk tidur.
(Setelah dewasa, aku baru menyadari bahwa tempat ternyaman untuk tidur adalah di paha Ibu. Walaupun Ibu berbadan kurus, sehingga sama sekali tidak ada kesan bantal yang empuk jika tidur di paha Ibu. Tapi tetap saja bagiku itu adalah tempat ternyaman.)
Aku menuruti kata Ibu, segera merebahkan diri di kursi kereta. Dan meletakkan kepalaku di pahanya. Ibu mengelus-elus kepalaku agar aku segera tertidur.
***
Po,” Ibu menggoncang-goncangkan tubuhku.
Beberapa detik kemudian aku terbangun, “ada apa, bu?”
Ibu mau ke kamar mandi dulu ya? Tapi kamar mandi yang di stasiun, bukan yang di kereta.”
Aku menoleh ke arah jendela. Ternyata keretanya sedang berhenti di sebuah stasiun.
Kenapa yang ngga di kereta?” aku bertanya keheranan.
Air kerannya mati.” Ibu menjawab.
Emang keretanya berhentinya lama?”
Ibu mengangguk.
Ya sudah, iya.”
Hati-hati ya! Jangan terima makanan dari orang yang nggak dikenal! Ibu ke kamar mandi dulu.”
Aku mengangguk. Beberapa saat kemudian aku sudah kembali rebahan di atas kursi. Kali ini tidak beralaskan bantal, karna ibu sedang pergi ke kamar mandi.
***
Beberapa saat kemudian, aku mendengar pengumuman dari petugas stasiun melalui halo-halo, bahwa sebentar lagi kereta akan berangkat. Tapi Ibu belum juga kembali.
Saat kereta mulai berjalan perlahan dan Ibu masih belum kembali, saat itu aku takut sekali. Menakutkan banyak hal. Bagaimana kalau Ibu ketinggalan di stasiun? Bagaimana nanti denganku jika sudah sampai di stasiun pemberhentianku? Apa aku harus membawa barang-barang ini sendirian? Tanpa Ibu?
Ibu belum juga kembali, padahal laju kereta sudah mulai bertambah cepat. Aku takut. Aku ingin menangis. Tapi aku tahu Ibu tidak suka melihatku menangis. Aku hanya duduk sembari memeluk lutut. Bingung, apa yang harus ku lakukan? Apakah aku harus berteriak minta tolong mencari Ibu?
Akhirnya aku memutuskan untuk menunggu, berusaha meyakini perasaanku bahwa sesungguhnya Ibu sudah berada di atas kereta, tapi belum menghampiriku.
Saat aku sudah ingin menangis, tiba-tiba Ibu muncul begitu saja di hadapanku. “Ibu, tadi aku kira Ibu ketinggalan di stasiun. Aku udah ketakutan pengen nangis.”
Ibu tertawa. “Sebenarnya tadi Ibu hampir ketinggalan kereta lho, po. Keretanya udah jalan pelan-pelan, ibu baru naik. Tapi naiknya dari gerbong belakang, makanya agak lama ke sininya.”
Benar saja, alhamdulillah... Ternyata sebenarnya Ibu sudah berada di atas gerbong sejak tadi, tapi karna Ibu menaiki gerbong yang belakang, sedangkan gerbongku berada di depan, sehingga membutuhkan waktu yang agak lama untuk kembali ke gerbong depan.
Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana jadinya kalau Ibu benar-benar ketinggalan di stasiun, dan aku harus melanjutkan perjalananku seorang diri ke Pesantren sana.
Fiuuhh.. Untung saja hal itu tidak terjadi


0 komentar:

Posting Komentar

 

Girl's Diary Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea