Ada sebuah tugas dari mata kuliah, Dasar-Dasar Bercerita, tugasnya membuat cerpen tentang kisah masa kecil. Ceritanya bisa apa saja, bebas.
And, this is my story!
Naik
Kereta Api
Oleh:
Salma Sarajevo
Naik kereta api..
tut..tut..tut..
Siapa hendak
turun..
Ke Bandung..
Surabaya..
Bolehlah naik
dengan percuma..
Ayo kawanku lekas
naik..
Keretaku tak
berhenti lama...
Aku lupa, ini sudah
yang keberapa kalinya aku naik kereta api. Biasanya aku naik kereta
api ketika akan mengunjungi kedua kakakku yang berada di Pesantren.
Karna letak Pesantrennya sangat jauh, biasanya aku dan ibu bapakku
menggunakan jasa kereta api jika ingin menjenguk kakak.
Begitu pun dengan hari
ini. Aku sudah duduk manis di salah satu kursi kereta api. Bersiap
meluncur menuju Kota Ponorogo, Pesantren tempat kakak-kakakku berada.
Beberapa hari sebelum
pergi berkunjung. Ada satu kebiasaan Ibu yang paling aku senangi. Ibu
membeli banyak kue dan jajanan. Tidak pernah aku melihat Ibu belanja
kue sebanyak itu. Walaupun sebenarnya kue-kue dan jajanannya
diberikan kepada kakak-kakakku, tapi aku juga kebagian, kok. Meskipun
hanya beberapa, hehehe
Oh iya, biasanya Ibu
juga sibuk mencatat barang-barang apa yang dibutuhkan kakak-kakakku.
Kedua kakakku menelpon melalui wartel, memberitahu kebutuhannya,
lantas Ibu mencatat. Kemudian dibawanya ketika pergi berkunjung. Ya,
biasanya barang-barang yang dibutuhkan berupa kaos kaki, alat tulis,
terkadang sekali dua pakaian maupun sepatu baru.
Biasanya aku pergi
dengan Ibu dan Bapak. Tapi tidak untuk kali ini, karna ada pekerjaan
yang harus diselesaikan Bapak di kantor, jadi hanya aku dan Ibu yang
pergi menjenguk kakak.
Ketika naik kereta
api, biasanya aku paling suka berdiri di kursiku yang dekat jendela,
dan menempelkan kepalaku di jendelanya. Kadang-kadang, kalau
jendelanya terbuka lebih asyik lagi, wajahku akan pias karna terpaan
angin malam.
Padahal berulang kali
Ibu menasehatiku, bilang khawatir aku akan masuk angin. Biasanya
kalau sudah seperti itu aku akan duduk, tapi beberapa menit kemudian
sudah berdiri lagi .
Habisnya, ada sensasi kesenangan yang kurasakan ketika wajahku
terkena terpaan angin malam.
“Sekarang jam
berapa, bu?”
“Jam 11. Kamu belum
ngantuk?”
“Sudah jam 11?
Pantas saja dari tadi kok, rasanya ngantuk sekali.”
Ibu tertawa. “Ya
sudah, sini bobo’.”
Ibu menunjuk dan menyodorkan pahanya padaku, agar aku menggunakan
pahanya sebagai bantal untuk tidur.
(Setelah dewasa, aku
baru menyadari bahwa tempat ternyaman untuk tidur adalah di paha Ibu.
Walaupun Ibu berbadan kurus, sehingga sama sekali tidak ada kesan
bantal yang empuk jika tidur di paha Ibu. Tapi tetap saja bagiku itu
adalah tempat ternyaman.)
Aku menuruti kata Ibu,
segera merebahkan diri di kursi kereta. Dan meletakkan kepalaku di
pahanya. Ibu mengelus-elus kepalaku agar aku segera tertidur.
***
“Po,” Ibu
menggoncang-goncangkan tubuhku.
Beberapa detik
kemudian aku terbangun, “ada apa, bu?”
“Ibu mau ke kamar
mandi dulu ya? Tapi kamar mandi yang di stasiun, bukan yang di
kereta.”
Aku menoleh ke arah
jendela. Ternyata keretanya sedang berhenti di sebuah stasiun.
“Kenapa yang ngga di
kereta?” aku bertanya keheranan.
“Air kerannya mati.”
Ibu menjawab.
“Emang keretanya
berhentinya lama?”
Ibu mengangguk.
“Ya sudah, iya.”
“Hati-hati ya!
Jangan terima makanan dari orang yang nggak dikenal! Ibu ke kamar
mandi dulu.”
Aku mengangguk.
Beberapa saat kemudian aku sudah kembali rebahan di atas kursi. Kali
ini tidak beralaskan bantal, karna ibu sedang pergi ke kamar mandi.
***
Beberapa saat
kemudian, aku mendengar pengumuman dari petugas stasiun melalui
halo-halo, bahwa sebentar lagi kereta akan berangkat. Tapi Ibu belum
juga kembali.
Saat kereta mulai
berjalan perlahan dan Ibu masih belum kembali, saat itu aku takut
sekali. Menakutkan banyak hal. Bagaimana kalau Ibu ketinggalan di
stasiun? Bagaimana nanti denganku jika sudah sampai di stasiun
pemberhentianku? Apa aku harus membawa barang-barang ini sendirian?
Tanpa Ibu?
Ibu belum juga
kembali, padahal laju kereta sudah mulai bertambah cepat. Aku takut.
Aku ingin menangis. Tapi aku tahu Ibu tidak suka melihatku menangis.
Aku hanya duduk sembari memeluk lutut. Bingung, apa yang harus ku
lakukan? Apakah aku harus berteriak minta tolong mencari Ibu?
Akhirnya aku
memutuskan untuk menunggu, berusaha meyakini perasaanku bahwa
sesungguhnya Ibu sudah berada di atas kereta, tapi belum
menghampiriku.
Saat aku sudah ingin
menangis, tiba-tiba Ibu muncul begitu saja di hadapanku. “Ibu, tadi
aku kira Ibu ketinggalan di stasiun. Aku udah ketakutan pengen
nangis.”
Ibu tertawa.
“Sebenarnya tadi Ibu hampir ketinggalan kereta lho, po. Keretanya
udah jalan pelan-pelan, ibu baru naik. Tapi naiknya dari gerbong
belakang, makanya agak lama ke sininya.”
Benar saja,
alhamdulillah... Ternyata sebenarnya Ibu sudah berada di atas gerbong
sejak tadi, tapi karna Ibu menaiki gerbong yang belakang, sedangkan
gerbongku berada di depan, sehingga membutuhkan waktu yang agak lama
untuk kembali ke gerbong depan.
Aku tidak bisa
membayangkan, bagaimana jadinya kalau Ibu benar-benar ketinggalan di
stasiun, dan aku harus melanjutkan perjalananku seorang diri ke
Pesantren sana.
Fiuuhh.. Untung saja
hal itu tidak terjadi
0 komentar:
Posting Komentar