*Bab 1*
Jung Na Ra_
Pagi ini lagi-lagi aku harus merelakan waktu ku yang
berharga untuk terlambat ke sekolah baru ku, Yaengguk High School. Padahal
terlambat benar-benar bukan mau ku! Sama sekali bukan! Ini semua karna ulah Hye
Jung oppa, uri sae oppa [1],
setiap pagi selalu seperti ini.
Entah apa yang sedang dilakukannya, yang jelas, aku
sudah duduk manis di atas kursi makan dan ia masih berada di kamarnya. Ku lihat
jam tangan ungu yang melingkar manis di pergelangan tangan, 10 menit lagi bel Yaengguk
High School berbunyi, sedangkan perjalanannya saja membutuhkan waktu 20 menit,
aku mendesah resah.
Padahal baru 1 bulan aku berada di Yaengguk High School, tapi sudah 5 kali aku mendapat
hukuman karna keterlambatan ku, mulai dari berdiri di tengah lapangan hingga membantu pekerja kebersihan selama
istirahat. Aku tak kuasa membayangkan hukuman apa yang harus ku lakukan kali
ini. Arght...aku mengerang pelan, ini semua karna Hye Jung oppa. Aku pun
menggebrak meja makan sebagai pelampiasan amarahku.
“Ehm,” Hye Jung oppa berdeham, membuyarkan
lamunan ku.
Aku tersentak kaget, bukan, bukan karna ia
berteriak, karna oppa tak pernah sekalipun berteriak, ia selalu bersuara
kecil dan dalam. Aku terkejut karna tiba-tiba ia muncul dihadapanku, lalu
dengan satu sentakan cepat ia menarik kursi makan dan duduk di atasnya.
Seperti biasa hanya kesunyian yang mengisi ruang
makan, yang terdengar hanya irisan roti panggangnya. Ku lirik ia sekilas, ia
terlihat makan dengan santai, tanpa perasaan bersalah sedikit pun membiarkanku
menunggunya terlalu lama.
Aku sungguh tak tahan lagi. Akhirnya kuberanikan
diri berkata, “oppa, tak bisakah kau mempercepat aktifitas pagi mu?” suaraku
terdengar lirih, tapi aku yakin ia pasti mendengarnya.
Aku melihatnya dengan ekor mataku, menanti apa
reaksinya, ia melirikku sekilas dengan malas, kemudian kembali menyuapkan roti
berselai coklat ke mulutnya.
“Apa urusan mu?” Ujarnya akhirnya.
“Aku tahu itu memang bukan urusan ku, tapi lama-lama
menjadi urusanku karna ketika Hye Jung oppa berlama-lama, itu berarti
aku juga harus terlambat. Sudah 5 kali aku terlambat, dan, hari ini genap
keenam kalinya.” Saat aku mengatakannya aku tak berani melihat ke arah nya,
yang kulakukan hanyalah menunduk memandang hampa roti panggang ku, mencacahnya
menjadi serpihan-serpihan kecil.
Aku fikir ia akan membalas ucapanku, ternyata tidak.
“Sedang kau apakan roti mu? Yang bisa kau lakukan hanya hal-hal yang tidak
berguna.” Ternyata hanya itu yang ia katakan.
Ia mengambil gelas susu miliknya lantas meneguknya
sampai habis, kemudian membersihkan mulutnya dengan celemek makan, mengambil
tas dan jas kerjanya. Lantas dengan santai bangkit berdiri meninggalkanku yang
masih meneguk segelas susu ku, aku belum beranjak berdiri. Ia yang baru
beberapa langkah berjalan menghentikan langkahnya, “Tak ingin pergi?” Ia
mengatakannya tanpa perlu menoleh ke arahku.
Aku berdiri dengan gerakan yang tidak biasa, gerakan
yang seolah-olah memberi tahunya bahwa aku sedang marah. Namun karna tidak
hati-hati aku pun tersandung kaki kursi dan akhirnya jatuh terpeleset. Sambil
meringis kesakitan aku mengambil tas sekolahku, dengan gerakan perlahan aku
berdiri dan berjalan menghampirinya.
Seperti biasa, selama perjalanan hanya kesunyian
yang mengisi.
***
Lee Hye Jung_
Lagi-lagi ia sudah duduk manis diatas kursi
makannya, selalu dengan ekspresi yang sama setiap harinya. Kau mau tau seperti
apa tampangnya saat ini? Akan ku deskripsikan sekarang juga, tampangnya
benar-benar seperti katak yang sedang hamil muda dan menderita mual-mual ingin
muntah tapi tak kunjung keluar.
Yah, seperti itulah tampangnya saat ini dan beberapa
pagi yang lalu, yang lalu dan yang lalu. Aku juga yakin setiap pagi tampangnya
akan selalu seperti ini, dengan muka mengernyit menahan penderitaan, tapi
bingung dengan apa yang harus dilakukannya.
Aigo [2],
mengapa dia harus hadir dalam kehidupanku? Mengapa harus dia? Mengapa bukan
yang lain? Dan mengapa kecelakaan itu harus terjadi?
Aku mengeluh pelan mengingat kecelakaan itu. Hah,
sudahlah, tak perlu aku mengingatnya lagi, toh peristiwa itu sudah berlalu
sejak satu tahun silam.
“Ehm,” Aku berdeham pelan.
Sepertinya ia terkejut, tapi hanya diam saja. Baguslah,
begitu lebih baik, karna biasanya ia
membalas ucapanku dengan dengungannya yang benar-benar seperti lebah
mendengung. Aku menikmati roti panggangku dengan santai.
“Oppa, tak bisakah kau mempercepat aktifitas
pagi mu?” ia berkata lirih. Aku melirik malas ke arahnya, lantas berkata, “apa
urusan mu?”
“Aku tahu itu
memang bukan urusan ku, tapi lama-lama bla-bla-bla…” Nah-nah-nah, benar kan apa
kataku? Ia sudah memulai dengungannya yang seperti lebah. Aku tak tahu apalagi
yang ia katakan, sekarang ia malah mencacah roti panggangnya menjadi serpihan-serpihan
kecil.
“Sedang kau
apakan roti mu? Yang bisa kau lakukan hanya hal-hal yang tidak berguna.” Ia
kembali menggumamkan sesuatu yang benar-benar membuat telinga ku gatal.
***
Jung Na Ra_
Hye Jung oppa atau lebih tepatnya Lee Hye
Jung memang oppa ku, tapi bukan oppa kandungku. Sudah empat bulan
aku tinggal bersamanya, aku tak tahu apa yang menyebabkanku harus tinggal
bersama orang yang menyebalkan sepertinya.
Yang aku tahu lima bulan lalu saat aku terbaring
lemah tak berdaya di rumah sakit, tanpa mengingat apapun yang terjadi,
jangankan apapun yang terjadi, dengan namaku saja aku lupa. Ia selalu datang menjengukku, menjenguk
menurut versinya sendiri. Karna apabila ia datang menjengukku, yang ia lakukan
hanya mengintip dari jendela, atau paling tidak melongokkan kepalanya sedikit
di pintu kamarku, lantas menanyakan kabarku pada dokter yang bertugas
merawatku.
Aku sendiri awalnya tak mengerti dengan apa yang dilakukannya.
Bahkan aku sempat berfikir bahwa ia adalah orang tak waras yang berkeliaran di
rumah sakit. Hingga akhirnya orang yang selama ini ku kira orang gila malah menjadi
kakak angkatku. Bahkan harus tinggal serumah dengannya.
Aku tak mengerti mengapa aku harus tinggal
bersamanya, bahkan harus menganggapnya sebagai oppa ku sendiri. Sampai
dokter yang selama ini merawatku bersedia menjelaskan semuanya padaku. Dokter Joong
Jun, dokter Park Joong Jun, menjelaskan bahwa aku
adalah korban kecelakaan dari Hye Jung oppa dan aku mengalami gegar otak
parah. Maka dari itu hakim menjatuhkan vonis hukuman pada Hye Jung oppa
untuk merawat dan menjagaku, jika ia lalai sedikit saja dalam menjagaku maka ia
akan dipenjara.
Aku tak ingat apa-apa tentang uri gajok [3],
aku tak tau apakah mereka juga korban dari kecelakaan itu. Dokter Joong Jun
tidak menceritakan bagian yang itu, aku pernah bertanya padanya. Tapi hanya
senyuman menenangkan yang ku dapatkan. Ah, aku jadi teringat senyumnya yang
selalu bisa menentramkan hatiku, senyuman seorang oppa yang ingin
menenangkan yodongsaengieyo [4]
Satu bulan di rumah sakit bersamanya membuatku tahu
sedikit banyak tentangnya, ia seorang dokter yang baik. Walaupun
usianya berbilang muda tapi ia sudah menjadi yang hebat. Tanpa
sadar bibirku menyunggingkan senyum tipis.
“Neo! Bueorago isseoyo?[5]”
Lagi-lagi suara itu datang mengagetkanku.
Ternyata mobil sudah terparkir manis di depan
sekolahku, entah sejak kapan. Kulirik sekilas ke arahnya, ia malah dengan
santainya memainkan gadget nya.
Aku pun bergegas menuju sekolah ku.
0 komentar:
Posting Komentar