*Bab 1*
“Kau di
mana?”
Evelyn
menjauhkan ponselnya dari telinganya. “Kau kira aku sedang berada di mana?” ia malah
balik bertanya.
Sudah kelima
kalinya dalam setengah jam terakhir Meg mencoba menghubungi Evelyn. Tapi yang
ditelpon tak kunjung menjawab teleponnya. “Hei, aku serius, Evelyn!”
“Begitu pun
dengan ku, Megan. Kau kira aku sedang berada di mana?” Evelyn kembali mengulang
kalimatnya.
Meg
mendengus. “Semua orang mencari mu! Dan seharusnya sejak setengah jam yang lalu
kau sudah menjawab teleponmu! Lagipula ini sudah larut, Ev. Kau pikir sekarang
siang hari hingga kau bisa pergi kemana pun sesuka mu?”
Evelyn
tertawa. “Oh, baiklah-baiklah. Simpan tandukmu segera, Meg. Aku tahu sekarang
sudah larut. Tepat pukul sebelas malam. Dan sekarang, aku sedang berada di
tempat di mana seharusnya aku berada.”
“Kau serius?”
Evelyn tetap mengangguk
walau ia tahu Meg tak bisa melihat. Lantas menggumam pelan.
“Astaga! Ku
pikir kau hanya main-main!”
“Kau tahu
sejak dulu, Meg, bahwa aku tak pernah main-main dengan ucapan ku.”
Meg kembali
mendengus. “Tapi…sekarang kau baik-baik saja bukan?”
Evelyn
kembali menganggukan kepalanya. “Oh, tentu saja.” Tapi ia merasa intonasi suaranya berkata
sebaliknya. Seolah-olah menyiratkan bahwa ia tidak baik-baik saja. “Lagipula,
mau tak mau pada akhirnya aku harus menyerahkan laporan mengenai kasus Cares of
Child.” Lanjut Evelyn.
“Oh, aku
sungguh menyesal mendengarnya, Ev. Maafkan aku.” Tapi intonasi Meg berkata
sebaliknya. Terdengar dengus tawanya dari seberang sana.
“Hei, Meg!
Berhentilah mentertawai ku!”
Sekarang Meg
benar-benar tertawa. “Ayolah, Ev! Sudah delapan tahun berlalu sejak peristiwa
itu terjadi. Seharusnya kau sudah memiliki keberanian untuk menemuinya.”
“Sial, tutup
mulutmu, Meg! Mudah saja bagimu berkata seperti itu. Tapi ini tak mudah bagiku.
Tak pernah mudah.” Tiba-tiba suara Evelyn melemah.
Sepertinya Meg,
sahabatnya, merasakan hal itu. “Kau tahu, kalau kau kenapa-napa, kau bisa
langsung menghubungiku, dan aku akan segera datang menemuimu.”
“Bagaimana
mungkin aku tidak tahu? Iya, aku mengerti. Kalau ada sesuatu yang terjadi, aku
akan segera menghubungimu. Baiklah, aku pergi dulu. Bye.”
“Bye.”
***
“Apakah
kau marah padaku?” Tanya Evelyn dengan suara lantang. Padahal saat itu bukan
hari hujan yang sangat deras, sehingga mengharuskan kau untuk berteriak-teriak
ketika berkomunikasi.
Ed hanya
menggeleng. “Untuk apa aku marah?” Ed berseru tak kalah kencang dari Evelyn.
Tapi ekspresi Ed berkata sebaliknya.
“Kau tahu,
Ed, aku hanya bercanda, sungguh! Lagipula aku tahu aku salah!”
“Tidak.
Kau tidak salah. Apa yang kau katakan memang benar.”
“Oh,
ayolah, Ed!” suara Evelyn melemah. Terdengar frustasi.
Tanpa
berkata apa-apa lagi Ed berbalik memunggungi Evelyn. Lantas berjalan
menjauhinya. Bayangan punggung Ed semakin menipis. Di ujung koridor, siluet tubuhnya
hanya segaris sebelum menghilang sepenuhnya dibalik belokan koridor.
***
Evelyn
kembali menghembuskan nafas. Sekelebat cerita masa lalunya membayang dalam
ingatannya. Ia mencoba menenangkan diri dengan kembali menghembuskan nafas. Ini
yang kelima kalinya ia melakukan hal itu selama semenit terakhir.
Mau tidak mau
pada akhirnya ia juga harus melakukan ini. Menghadapi rasa bersalahnya di masa
lalu. Rasa bersalah yang tak pernah bisa ditebus oleh apa pun. Ah, mengingat
kejadian beberapa tahun silam kembali membuat Evelyn merasa tak nyaman. Evelyn
mendongak menatap langit kota Boston. Oh, lihatlah, bahkan malam ini langit
Boston terlihat mendung. Tak ada satupun bintang-gemintang yang terlihat.
Ini semua
karna ulah Megan Eleanor, sahabat sekaligus rekan kerjanya. Andai ia bisa
mengontrol ucapannya beberapa hari lalu di kantor. Ia mungkin tidak harus
berada dalam situasi seperti sekarang ini.
Ia kembali
menatap gedung dihadapannya yang berdiri kokoh. Bahkan, melihat gedung ini saja
sudah membuat perasaannnya memburuk. Gedung itu seolah-olah mengejek Evelyn.
Berkata bahwa hari ini adalah hari terburuk dalam hidupnya. Kini, gedung yang
berada tepat didepannya, adalah sebuah yayasan panti asuhan. Cares of Child.
Cares of Child tidak seperti kebanyakan panti pada umumnya. Ada yang berbeda
dari panti ini. Mereka hanya menerima anak-anak yang berkebutuhan khusus. Anak-anak
yang menyandang cacat baik dalam fisik maupun mental. Dan, well,
sekarang disinilah ia berada. Memenuhi tugas kantor yang dilimpahkan padanya.
Dan di sini pula sesosok masa lalunya berada. Hal inilah yang membuat Evelyn
ragu dengan apa yang sedang dilakukannya. Apakah ia melakukan hal yang benar? Ia
tahu suatu saat ia harus meghadapi hal ini. Tapi tidak sekarang! Bukan
sekarang! Hanya saja, ia merasa belum yakin. Serta belum memiliki nyali untuk
itu.
Evelyn
mengerang pelan. Oh, awas saja kau, Meg!
Karna ia
memejamkan matanya ketika berjalan memasuki pelataran panti tersebut. Tanpa
sadar kakinya terantuk batu sebesar kepalan tangan. Tubuhnya mulai miring,
bergoyang tidak seimbang. Bersiap menerima kemungkinan terburuk. Akhirnya,
sepersekian detik kemudian ia pun jatuh terjerembab.
“Aw!” Evelyn
mengerang pelan. Ternyata bagian kakinya yang terantuk batu berdarah. Oh,
astaga. Baru memasuki pelatarannya saja aku sudah mengalami kecelakaan.
Bagaimana jika masuk ke dalam?
Dengan sekuat
tenaga ia mencoba berdiri. Susah payah ia melakukannya. Ketika berhasil
menyeimbangkan kedua kakinya, tiba-tiba saja ia kembali kehilangan
keseimbangan. Bukan. Bukan karna luka berdarah di kakinya. Melainkan karna
keterkejutannya. Terkejut dengan kehadiran seseorang yang secara tiba-tiba
berada di hadapannya. Sosok yang selama ini selalu dihindarinya.
Bahkan
setelah delapan tahun tak pernah bertemu, ia masih mengingatnya dengan jelas.
Bagaimana caranya berbicara. Bagaimana
ia tersenyum padanya. Bahkan caranya menatap Evelyn, ia masih bisa
mengingatnya! Tapi, lihatlah, kini tak ada lagi sinar hangat dan berkilat-kilat
bahagia dari mata itu. Yang ada hanyalah mata yang menatap dengan dingin. Tak
ada lagi sorot bersahabat disana. Hanya menyisakan mata yang menyorot tajam!
Angin malam
yang berhembus kencang semakin menambah dramatis suasana. “Hai!” tanpa sadar
Evelyn mengatakannya.
Ed, dengan
sorot matanya yang tajam menatap Evelyn.
0 komentar:
Posting Komentar