Kamis, 07 Mei 2015

Novel "A Gift" bab`1

Diposting oleh salmasara.blogspot.com di 16.12


*Bab 1*
“Kau di mana?”
Evelyn menjauhkan ponselnya dari telinganya. “Kau kira aku sedang berada di mana?” ia malah balik bertanya.
Sudah kelima kalinya dalam setengah jam terakhir Meg mencoba menghubungi Evelyn. Tapi yang ditelpon tak kunjung menjawab teleponnya. “Hei, aku serius, Evelyn!”
“Begitu pun dengan ku, Megan. Kau kira aku sedang berada di mana?” Evelyn kembali mengulang kalimatnya.
Meg mendengus. “Semua orang mencari mu! Dan seharusnya sejak setengah jam yang lalu kau sudah menjawab teleponmu! Lagipula ini sudah larut, Ev. Kau pikir sekarang siang hari hingga kau bisa pergi kemana pun sesuka mu?”
Evelyn tertawa. “Oh, baiklah-baiklah. Simpan tandukmu segera, Meg. Aku tahu sekarang sudah larut. Tepat pukul sebelas malam. Dan sekarang, aku sedang berada di tempat di mana seharusnya aku berada.”

“Kau serius?”
Evelyn tetap mengangguk walau ia tahu Meg tak bisa melihat. Lantas menggumam pelan.
“Astaga! Ku pikir kau hanya main-main!”
“Kau tahu sejak dulu, Meg, bahwa aku tak pernah main-main dengan ucapan ku.”
Meg kembali mendengus. “Tapi…sekarang kau baik-baik saja bukan?”
Evelyn kembali menganggukan kepalanya. “Oh, tentu saja.”  Tapi ia merasa intonasi suaranya berkata sebaliknya. Seolah-olah menyiratkan bahwa ia tidak baik-baik saja. “Lagipula, mau tak mau pada akhirnya aku harus menyerahkan laporan mengenai kasus Cares of Child.” Lanjut Evelyn.
“Oh, aku sungguh menyesal mendengarnya, Ev. Maafkan aku.” Tapi intonasi Meg berkata sebaliknya. Terdengar dengus tawanya dari seberang sana.
“Hei, Meg! Berhentilah mentertawai ku!”
Sekarang Meg benar-benar tertawa. “Ayolah, Ev! Sudah delapan tahun berlalu sejak peristiwa itu terjadi. Seharusnya kau sudah memiliki keberanian untuk menemuinya.”
“Sial, tutup mulutmu, Meg! Mudah saja bagimu berkata seperti itu. Tapi ini tak mudah bagiku. Tak pernah mudah.” Tiba-tiba suara Evelyn melemah.
Sepertinya Meg, sahabatnya, merasakan hal itu. “Kau tahu, kalau kau kenapa-napa, kau bisa langsung menghubungiku, dan aku akan segera datang menemuimu.”
“Bagaimana mungkin aku tidak tahu? Iya, aku mengerti. Kalau ada sesuatu yang terjadi, aku akan segera menghubungimu. Baiklah, aku pergi dulu. Bye.
Bye.”
***
“Apakah kau marah padaku?” Tanya Evelyn dengan suara lantang. Padahal saat itu bukan hari hujan yang sangat deras, sehingga mengharuskan kau untuk berteriak-teriak ketika berkomunikasi.
Ed hanya menggeleng. “Untuk apa aku marah?” Ed berseru tak kalah kencang dari Evelyn. Tapi ekspresi Ed berkata sebaliknya.
“Kau tahu, Ed, aku hanya bercanda, sungguh! Lagipula aku tahu aku salah!”
“Tidak. Kau tidak salah. Apa yang kau katakan memang benar.”
“Oh, ayolah, Ed!” suara Evelyn melemah. Terdengar frustasi.
Tanpa berkata apa-apa lagi Ed berbalik memunggungi Evelyn. Lantas berjalan menjauhinya. Bayangan punggung Ed semakin menipis. Di ujung koridor, siluet tubuhnya hanya segaris sebelum menghilang sepenuhnya dibalik belokan koridor.
***
Evelyn kembali menghembuskan nafas. Sekelebat cerita masa lalunya membayang dalam ingatannya. Ia mencoba menenangkan diri dengan kembali menghembuskan nafas. Ini yang kelima kalinya ia melakukan hal itu selama semenit terakhir.
Mau tidak mau pada akhirnya ia juga harus melakukan ini. Menghadapi rasa bersalahnya di masa lalu. Rasa bersalah yang tak pernah bisa ditebus oleh apa pun. Ah, mengingat kejadian beberapa tahun silam kembali membuat Evelyn merasa tak nyaman. Evelyn mendongak menatap langit kota Boston. Oh, lihatlah, bahkan malam ini langit Boston terlihat mendung. Tak ada satupun bintang-gemintang yang terlihat.
Ini semua karna ulah Megan Eleanor, sahabat sekaligus rekan kerjanya. Andai ia bisa mengontrol ucapannya beberapa hari lalu di kantor. Ia mungkin tidak harus berada dalam situasi seperti sekarang ini.
Ia kembali menatap gedung dihadapannya yang berdiri kokoh. Bahkan, melihat gedung ini saja sudah membuat perasaannnya memburuk. Gedung itu seolah-olah mengejek Evelyn. Berkata bahwa hari ini adalah hari terburuk dalam hidupnya. Kini, gedung yang berada tepat didepannya, adalah sebuah yayasan panti asuhan. Cares of Child. Cares of Child tidak seperti kebanyakan panti pada umumnya. Ada yang berbeda dari panti ini. Mereka hanya menerima anak-anak yang berkebutuhan khusus. Anak-anak yang menyandang cacat baik dalam fisik maupun mental. Dan, well, sekarang disinilah ia berada. Memenuhi tugas kantor yang dilimpahkan padanya. Dan di sini pula sesosok masa lalunya berada. Hal inilah yang membuat Evelyn ragu dengan apa yang sedang dilakukannya. Apakah ia melakukan hal yang benar? Ia tahu suatu saat ia harus meghadapi hal ini. Tapi tidak sekarang! Bukan sekarang! Hanya saja, ia merasa belum yakin. Serta belum memiliki nyali untuk itu.
Evelyn mengerang pelan. Oh, awas saja kau, Meg!
Karna ia memejamkan matanya ketika berjalan memasuki pelataran panti tersebut. Tanpa sadar kakinya terantuk batu sebesar kepalan tangan. Tubuhnya mulai miring, bergoyang tidak seimbang. Bersiap menerima kemungkinan terburuk. Akhirnya, sepersekian detik kemudian ia pun jatuh terjerembab.
“Aw!” Evelyn mengerang pelan. Ternyata bagian kakinya yang terantuk batu berdarah. Oh, astaga. Baru memasuki pelatarannya saja aku sudah mengalami kecelakaan. Bagaimana jika masuk ke dalam?
Dengan sekuat tenaga ia mencoba berdiri. Susah payah ia melakukannya. Ketika berhasil menyeimbangkan kedua kakinya, tiba-tiba saja ia kembali kehilangan keseimbangan. Bukan. Bukan karna luka berdarah di kakinya. Melainkan karna keterkejutannya. Terkejut dengan kehadiran seseorang yang secara tiba-tiba berada di hadapannya. Sosok yang selama ini selalu dihindarinya.
Bahkan setelah delapan tahun tak pernah bertemu, ia masih mengingatnya dengan jelas. Bagaimana caranya berbicara.  Bagaimana ia tersenyum padanya. Bahkan caranya menatap Evelyn, ia masih bisa mengingatnya! Tapi, lihatlah, kini tak ada lagi sinar hangat dan berkilat-kilat bahagia dari mata itu. Yang ada hanyalah mata yang menatap dengan dingin. Tak ada lagi sorot bersahabat disana. Hanya menyisakan mata yang menyorot tajam!
Angin malam yang berhembus kencang semakin menambah dramatis suasana. “Hai!” tanpa sadar Evelyn mengatakannya.
Ed, dengan sorot matanya yang tajam menatap Evelyn.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Girl's Diary Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea